Semarang, Sabtu 16 Juni 2012
Hari ini bingung harus ngapain, karena
kegiatan sehari-hari Cuma begini begitu aja, jadi daripada bengong I’m going to
tell some story and this is about my confession of being new mom in the
village.
Sebenarnya saat pertama kali memutuskan
untuk memulai hidup baru (menikah) diusia sedini ini, karena kami sebelumnya
sudah mempunyai rencana yang begitu matang untuk merangkai masa depan yang
indah. Tidak pernah terbayang olehku sebelumnya untuk memiliki anak diusia
muda. Saat awal pernikahan saya dan suami berencana untuk melanjutkan
pendidikan lebih lanjut (Strata 2/Magister) bersama. Saat itu suami memang
sedang mencari beasiswa yang bisa membawanya untuk terbang kenegeri antah
brantah, alasannya dia mau ke luar negeri tapi bukan dengan biayanya sendiri,
jadi dia cari deh tuh beasiswa yang ada kerjasama dengan universitas di luar
negeri. Dan saat itu saya berencana untuk menlanjutkan pendidikan juga, ya
memang bukan dengan beasiswa dan masih di negeri sendiri. Karena tujuan kami
sama, kami mau sama-sama daftar di universitas yang sama juga, untuk memudahkan
tranportasi juga komunikasi.
Tapi sebelum detik-detik pendaftaran
ternyata saya dinyatakan hamil. Ya Allah apakah ini ujian atau anugerah yang
harus saya syukuri. Saat itu adalah saat terberat yang harus saya lalui.
Bagaimana tidak, impian saya tentang masa-masa kuliah, main-main, jalan-jalan
jadi melayang gara-gara terpikirkan tentang bagaimana nanti harus merawat anak.
Saya mengalami dilemma terberat yang harus saya lalui. Disatu sisi saya
benar-benar belum bisa terima dengan kehidupan baru saya. Secara, saya ini anak
kota, saya biasa tinggal di kota besar metropolitan, hidup instan, segalanya
mudah, mau apa-apa tinggal minta. Dan saat itu saya baru saja pulang dari
Singapore, negara serba berteknologi tinggi. Benar-benar 180 derajat hidupnya
saya berubah. Setelah menikah saya harus ikut suami yang notabenya tinggal
didesa, bahkan untuk berangkat ke kantor saja suami saya harus menempuh jarak
puluhan kilometre dan memakan waktu hampir 45menit.
Awalnya memang berat banget, tadinya saya
mau mengamuk, kenapa bisa begini. Tapi inilah takdir, satu hal yang benar-benar
bisa membuat saya tenang itu saat melihat suami saya menjatuhkan airmatanya
saat saya menyatakan padanya kalau saya belum siap. Dia meneteskan airmatanya,
dan dia bilang begini, ‘ini anugerah terindah dari Allah sayang, apakah kamu
tahu kalau aku memang merindukan si kecil dikeluarga kita? Kita ini termasuk
yang beruntung hunn, karena engga semua keluarga yang mendambakan anak bisa
punya anak secepat dan semudah yang kita alami, banyak mereka yang ngabisin uang ratusan juta cuma untuk mendapatkan keturunan, bahkan ada yang engga bisa punya
keturunan’.
Deeeeek!! Bagaikan tertampar geledek, saya
sadar ini memang anugerah terindah, Alhamdulillah. Akhirnya dengan segenap hati
saya meminta bantuan suami untuk selalu mendukung saya melalui masa-masa indah
ini.
Dan ternyata Allah memang benar-benar
sayang sama saya. Saya diberikan nikmat terbesar dengan melewati masa-masa
hiperemesis gravidarium (muntah-muntah berlebihan saat hamil) di trimester pertama dan setengah jalan trimester kedua. Dan saya
juga diberikan kemudahan untuk persalinan normal. Sekali lagi Alhamdulillah,
inilah nikmat yang sesungguhnya yaitu saat kita bisa melewati masa susah yang
tuhan berikan.
No comments:
Post a Comment