Semarang, 18 Juni 2012
Engga berasa sekarang sudah masuk hari
senin lagi, kalau kita engga mikirin segala kesusahan dan menjalani hidup
dengan santai waktu akan berjalan begitu cepat. Seperti saya ini, yang pekerjaannya
hanya tertumpu disatu ruangan kecil ukuran kira-kira 18m² tanpa bos dan tanpa
gaji pula. But c’est la vie!! (inilah hidup). Baru aja saya ngecek twitter saya
(yang kebetulan baru dibuat lagi karena saya lupa sama account saya yang lama),
dan saya menemukan sebuah artikel yang membahas tentang penelitian tingkat
stress yang dialami wanita yang melakukan perkerjaan rumah tangga.
Mengutip dari artikel tersebut, sang
peneliti menyatakan bahwa sebanyak 85% wanita yang terlibat dalam studinya
memiliki posisi social ekonomi yang sama dengan pasangannya serta memiliki
tanggung jawab lebih dari setengah pekerjaan rumah tangga. Sang peneliti juga
menyatakan bahwa ‘pekerjaan rumah tangga adalah kegiatan yang sifatnya sangat
gender. Wanita cenderung memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada
pria. Ketidaksetaraan dalam pekerjaan rumah tangga yang tidak melibatkan
kesetaraan gender, dikaitkan dengan tekanan psikologis. Selain itu peneliti juga
menambahkan bahwa wanita yang memiliki posisi dan gaji yang rendah daripada
sang suami juga merupakan salah satu factor yang yang membuat wanita akan
merasa lebih tertekan daripada si pria.
Membaca artikel tersebut saya mengakui
kalau saya juga mengalami hal yang sama. Apalagi dengan status social yang saat
ini tidak saya miliki. Dikarenakan saya tidak bekerja, saya tidak tergabung
dalam sebuah organisasi apapun, dan saya tidak memiliki teman sebaya saya yang
juga mengalami hal yang sama seperti saya yang bisa saya ajak bersosialisasi.
Dengan keadaan saya seperti ini, saya jadi berbeda dengan para teman-teman yang
mungkin saat ini masih menjalani masa pendidikannya, masa-masa pacaran, juga
pahit manisnya menjalani pekerjaan. Apalagi suami saya 6 tahun lebih tua dari
saya, jadi mau engga mau saya harus bergaul dengan teman-teman sebayanya
(untung juga sih jadi ngerasa awet muda... hahaa).
Stres adalah salah satu factor yang
terkadang membuat saya dan suami jadi misunderstanding. Terkadang saya ingin
mencurahkan perasaan saya kepada si mas tentang apa yang saya rasa, tapi disisi
lain sebenarnya dia juga lagi susah. Gimana engga susah, diapun sekarang lagi
tidak bekerja, penghasilan kecil dan pendidikan yang diterimanya sekarang
memang susah banget (suruh siapa ngambil konseling genetika, hehe sabar yah
sayang). Tapi dengan adanya komunikasi terus menerus membuat kami jadi bisa
saling mengerti satu sama lain. Kami belajar dan selalu belajar untuk bisa
saling mendukung dan mendampingi. Yah walaupun engga bisa dipungkiri kalau asam
pahitnya berumah tangga sering kami alami juga, tapi kan bukan untuk
diinget-inget, diumbar-umbar dan dijadikan dendam. Dengan adanya masalah kami
jadi lebih saling menyayangi satu sama lain. Jadi intinya sih, stress itu
merupakan sebuah tahap yang harus dilalui dan suami tuh selalu mengingatkan
begini ‘mungkin saat ini memang belum waktunya, tapi Allah pasti akan
memberikan jawaban untukmu secepatnya sayang’, (cieeee... bijaknya deh si
dia).
Setelah saya telaah, akhirnya saya
menemukan jawaban yang memang benar ada buktinya dan memang harus selalu
diingat untuk seluruh wanita yang sedang mengalami stress seperti ini. Kita
sebagai kaum wanita harusnya selalu bersyukur dengan apa yang diberikan tuhan.
Karena tuhan sebenarnya telah memberikan nikmat tertinggi yang tidak bisa kita
bayar hanya dengan bersyukur. ‘Surga adanya dibawah telapak kaki ibu’, itu
adalah salah satu nikmat yang bisa kaum wanita ingat dan syukuri, karena belum
ada tuh yang menyebutkan kalau surga ada ditelapak kaki bapak atau mungkin
jempolnya bapak. Nabi Muhammad SAW aja pernah menyebutkan saat sahabatnya
bertanya dan dia menjawab ibu sebanyak tiga kali berturut-turut sebelum
akhirnya menyebut bapak.
Rahim yang dimiliki seorang wanita juga
merupakan anugerah dari Allah. Karena tanpa adanya wanita tidak bisa ada
terjadinya kehidupan baru (walaupun tidak bisa dipungkiri kalau lelaki
juga berperan penting untuk menyumbangkan kehidupan).
So, those are some reason why women should
always keep their patient to survive their family. Although we have no strength
to keep our emotion, but we have strong feeling to keep us awake and be
powerful to face the reality.